MENGUNGKAP FITNAH!!!



Menggugat Status Ke-Ulama-an Aman Abdurahman (Bag III)


Pembaca yang dimuliakan Allah, pembahasan tentang fikrah ghulat takfiri menjadi suatu hal yang sangat penting lagi dibutuhkan oleh kaum Muslimin. Karena memang fikrah sesat yang telah disahkan kesesatannya oleh para ulama, baik ulama salaf (terdahulu) maupun khalaf (sekarang) ini telah terlanjur tersebar, diterima dan di waris-ajar kan di kalangan kaum Muslimin, diantaranya adalah kaum Muslimin di Indonesia dengan ustadz Aman Abdurrahman sebagai tokoh sentralnya.
Kita pun melihat akibat buruk dari pemikiran ini sebagaimana yang telah diperingatkan oleh para ulama kaum Muslimin. Dalam banyak kasus, kita melihat lisan para pengikut aliran ini telah begitu mudah menyebarkan tuduhan pengkafiran kepada sesama kaum Muslimin. Baik kepada orang per orang dari kaum Muslimin, maupun kepada jamaah-jamaah minal Muslimin yang ada di luar kelompok mereka atau yang berselisih pendapat dengan mereka.
Permasalahan pun tak berhenti sampai di sana. Karena tuduhan pengkafiran terhadap seorang Muslim itu maknanya adalah menganggap Muslim ini sebagai orang murtad, maka yang terjadi selanjutnya adalah penghalalan darah (sebagaimana ancaman-ancaman yang pernah diterima redaksi), harta (sebagaimana pencurian harta yang pernah diderita oleh salah seorang tim redaksi) dan kehormatan kaum Muslimin (sebagaimana kasus direbut paksanya istri Mujahidin Jabhah Nushrah, karena suaminya dianggap telah murtad sebab tidak mau berbaiat kepada Al-Baghdadi dan tidak pula berhijrah ke Raqqah). Dan berbagai kenyataan pahit lainnya.
Hal tersebut mendorong redaksi untuk menurunkan tulisan ketiga dari Akhi Abu Jihad Al-Indunisy, yang membahas tentang manhaj takfir yang dianut oleh aliran ini. Sebuah Manhaj Takfir yang berpijak pada Klaim Ijma dan Lawazim, yang jauh dari kaidah dan patokan-patokan pengkafiran yang telah disusun oleh para ulama, sehingga sering kita dengar, mereka mengucapkan:
“Secara Ijma Qath’i perbuatan ini adalah kafir, maka orang yang melakukan perbuatan ini pasti kafir, sedangkan orang yang ragu untuk mengkafirkan pelaku perbuatan ini dia juga ikut kafir!!”
Padahal setelah dilakukan pengecekan atas keshahihan dalil, ternyata perbuatan yang dituduhkan itu masih dalam ranah ikhtilaf (belum menjadi Ijma, apalagi ijma Qath’i).
Jika pun memang perbuatan yang dituduhkan itu adalah perbuatan yang bisa menyebabkan pelakunya jatuh kafir (Mukaffirah), setelah dilakukan pengecekan atas fakta dan realita lapangan mengenai kondisi pelaku, ternyata si pelaku adalah awam yang jauh dari kesengajaan dan kesadaran, si pelaku lebih banyak melakukannya karena merasa tindakannya benar dan itu demi memperjuangkan Islam (contoh kasus pengkafiran secara mutlak kepada orang-orang yang memperjuangkan Islam melalui jalur Syirik Demokrasi yang ternyata statusnya masih “Persoalan yang Khofi”).
Belum lagi metode “pengkafiran berantai” yang mengkafirkan mereka yang tidak mau mengkafirkan orang yang dikafirkan oleh kelompok ini. Karena berlebihan dalam memegang kaidah “Barangsiapa ragu-ragu untuk mengkafirkan orang kafir, maka ia juga ikut kafir.”
Dan yang lebih parah lagi, setelah munculnya Daulah Baghdadiyah, gelombang pengkafiran terhadap kaum Muslimin ini semakin dahsyat dan tak terbendung seiring bersatunya kelompok takfiri arahan Aman Abdurrahman ini ke organisasi induknya, Daulah Baghdadiyah pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi, yang memang memiliki kesamaan pemikiran dan sikap.
Oleh karena itu, demi menjaga darah, harta dan kehormatan kaum Muslimin melalui Media Massa, redaksi tetap menurunkan dan akan terus menurunkan tulisan demi tulisan yang membedah kerusakan pemikiran ini, sekaligus membongkar tokoh-tokohnya sampai mereka bertaubat. Meskipun semakin dengki orang yang dengki.
Selamat Menyimak!

Menggugat Status Ke-Ulama-an Aman Abdurahman (Bagian III)
Permasalahan ke III Klaim Ijma dan Lawazim

Sebelum saya menjelaskan tema kita kali ini, saya teringat akan kisah Fathimah binti Qais ketika Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarnya, ia meminta saran pada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, dengan siapa harus menikah? Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Adapun Abu Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya dan Muawiyah bin Abu Sufyan miskin tidak punya harta.” (HR. Muslim, kitab Ath-Thalaq).
Jika diperbolehkan mengungkap aib dua sahabat untuk maslahat dunia, maka membongkar aib ahli bid’ah lebih utama karena berkaitan dengan kepentingan agama dan umat secara umum.
Syaikhul Islam berkomentar tentang makna hadits di atas, “Demikian bagian dari nasihat buat wanita tersebut, meskipun harus menyebutkan aib pelamarnya. Hal ini bagian dari nasihat seseorang kepada temannya, wakilnya dan orang yang menerima wasiat. Bila untuk kepentingan pribadi saja boleh, maka untuk kepentingan umat secara umum lebih utama. Apabila bagi pemimpin, hakim, saksi dan pekerja, jelas lebih lebih utama untuk diperbolehkan.” (Majmu’ Fatawa, vol. 28, hlm. 230).
A. Sikap Para Ulama
Imam al Qarafi berkata, “Aib ahli bid’ah dan kesesatan buku-buku mereka harus dijelaskan kepada semua orang, agar orang-orang yang lemah iman dan ilmu tidak terjerat oleh kesesatan mereka.
Tetapi harus dipisahkan kejujuran obyektif dan tidak gampang melempar tuduhan fasik dan kekejian tanpa bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh menuduh ahli bid’ah berzina atau minum khamer tanpa bukti yang nyata.” (Al-Faruq IV/207-208).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar tentang bolehnya menyebutkan keburukan ahli bid’ah. Beliau berkata, “Seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah yang mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah atau ibadah yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, memperingatkan umat dari bahaya mereka berhukum wajib menurut kesepakatan kaum muslimin, hingga pernah Imam Ahmad ditanya, “Manakah orang yang lebih engkau cintai orang yang berpuasa, sholat dan i’tikaf ataukah orang yang berbicara tentang keburukan ahli bid’ah?” Beliau menjawab, “Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah untuk seluruh kaum muslimin dan ini yang lebih utama.” Berarti berbicara keburukan ahli bid’ah lebih utama dan bagian dari jihad fardlu kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin. Kalau tidak ada orang melakukan hal itu, maka agama lambat laun akan rusak. Bahkan lebih berbahaya dari penjajah, karena penjajah hanya merusak fasilitas fisik, sementara ahli bid’ah merusak hati lebih dahulu.” (Majmu’ Fatawa 28/231-232).
Dan di antara kedustaan orang Al-Mariqah Al-Maftunin yaitu orang-orang yang terkena Syubhat Takfiri, sebuah kesesatan yang menyebabkan mereka melesat dari din yang lurus lagi terkena fitnah adalah Klaim Ijma’ dalam banyak persoalan dan konsekwensi /Lawazim bagi yang menyelisihinya
I. Klaim Ijma’ dalam setiap Tempat
A. Contoh-contohnya di dalam kitab mereka berjudul Al-Urwatul Wustqa yang disusun Aman Abdurahman
Dalam kitab Al-Urwatul Wutsqa terdapat begitu banyak klaim tentang adanya hal-hal yang menyelisihi ijma’ kaum Muslimin, khususnya sebagai konsekuensi adanya udzur jahl, salah takwil atau penghalang jatuhnya vonis kafir lainnya yang tidak sesuai dengan keinginannya. Padahal persoalan tersebut bukan termasuk ranah ijma’ diantaranya adalah :
1. (Akibat adanya Udzur Jahl, salah takwil atau penghalang jatuhnya vonis lainnya), Dia harus mengudzur ahlul fatrah atau sebagiannya karena kejahilan mereka. (Aman Abdurrahman dalam kitabnya menganggap bahwa lawazim/konsekuensi ini adalah hal yang menyelisihi ijma’).
2. Dia harus mengudzur orang-orang yang jahil dan awam dari kalangan munafiqin. (Aman Abdurrahman dalam kitabnya menganggap bahwa lawazim/konsekuensi ini adalah hal yang menyelisihi ijma’).
3. Dia harus mengudzur setiap orang yang mengingkari rububiyyah Allah karena jahil (hal ini juga dianggapnya menyelisihi ijma’). 4. Dia harus mengudzur orang yang mengingkari Ilmu Allah karena kejahilan atau takwil. (hal ini juga dianggapnya menyelisihi ijma’).
5. Dia harus mengudzur orang yang menafikan nama-nama dan sifat Allah karena kejahilan dari kalangan Jahmiyyah. ((hal ini juga dianggapnya menyelisihi ijma’).
6. Pendapat ini mengharuskan adanya pendapat bahwa hujjah itu belum tegak atas seorangpun dari umat ini baik dengan Rasul atau dengan Al Qur’an.
Dan tambahan kami adalah :
7. Mereka segera menuduh sebagai murjiah ketika kita memberikan Udzhur Jahl atau menyelisihi sebagian bab Iman yang mereka pegangi dan mereka yakini.
8. Mereka menuduh dan memvonis shahawat, murtad, kafir hanya karena ada sekelompok orang yang menyelisihi mereka dalam hal ketidak setujuan dalam muamalah seperti misalnya berfoto dengan orang kafir maka segera mudah menyebutnya dengan membantu orang-orang kafir, murtad
9. Mereka keliru dan mengklaim bahwa kekafiran secara Ta’yin TNI dan POLRI sebagai Ijma atau Zhonni Tsubut dan mereka mengqiyaskan kasus Musaylamah Al-Kadzab dan bala tentaranya yang di vonis Ta’yin oleh para sahabat dan para sahabat ijma’ atas nya, ini jelas kesalahan dan kekeliruan.
10. Menganggap bahwa orang yang tidak mengkafirkan Ansharut thagut berarti orang itu telah menganggap sah keislaman mereka.
12. Kita sepakat bahwa demokrasi adalah sistem syirik yang harus kita jauhi, akan tetapi Aman Abdurrahman dan orang-orang semacamnya bersikap berlebihan (ghuluw) bagi mereka yang berbeda pandangan dalam menetalkan kafirnya pelaku syirik demokrasi, dengan kata lain mereka berani mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik Demokrasi baik secara umum maupun khusus.
13. Menuduh kafir kepada saudara-saudaranya yang tertawan musuh, hanya karena mereka berusaha membebaskan diri dengan mengurus Pembebasan Bersyarat, mengurus Remisi atau menandatangani syarat kekufuran sebagai syarat pembebasan bersyarat terhadap asir /tawanan muslim (Dalam bab ini kami akan membahas khusus di lain tempat insya Allah). bermajelis bersama mereka, duduk bersama mereka,
14. Dalam kancah jihad di Libya, Iraq dan Syam mereka lancang memerangi dan membunuhi Mujahidin Al-Qaeda hanya karena mujahidin tersebut tidak berbaiat kepada Daulah Baghdadiyah atau karena mereka mempertahankan diri dari serangan zhalim daulah maka mereka menghukumi kafir baik sadar atau tidak sadar sebagai sikap resmi juru bicara resmi mereka Abu Muhammad Al-Adnani Al-Maftunin belum lama ini.
Menolak klaim bahwa persoalan di atas adalah perkara yang bersifat ma’lum minad dien bid dharurah dan mereka sering mengkonsekwensikan hukum suatu perbuatan dengan mengatakan Lawazim (Konsekuensi-Kensekuensi) Yang Bathil bahwa orang yang tidak mengkafirkan Ansharut Thagut berarti telah mengislamkan mereka, atau mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan berarti aqidahnya rusak dan bukan muwahidun, sungguh mereka memiliki konsekuensi-konsekuensi yang bathil bila memberlakukan pendapatnya secara baku. Padahal perkara Maklum minad dini bidharurah/ perkara yang sudah diketahui secara umum ummat Islam yang mana ulama ijma sepakat akan kekafiranya jika menyelisihinya, jelas ini merupakan manipulasi klaim ijma, dan kita menganggap bahwa persoalan diatas adalah bersifat kajian, rincian dan persoalan khoffiyyah atau tersamar dan ummat banyak tersyubhat didalam nya, persoalan ghairu maklum minad dien bid dharurah /perkara yang tidak diketahui secara umum oleh ummat islam dan perkara ini bersifat nisbi.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata
ولهذا اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان، وكان حديث العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول
“Oleh karena itu para imam telah sepakat bahwa barangsiapa yang hidup di tempat terpencil yang jauh dari ahli ilmu dan iman, atau dia baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari hukum-hukum yang telah jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia mengetahui (dan memahami) apa-apa yang dibawa oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].
Sungguh ya ikhwah bahwa Al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah adalah perkara agama yang jelas lagi mutawatir, diketahui oleh semua orang, dan disepakati para ulama secara pasti seperti rukun Islam yang lima, pengharaman perkara-perkara yang keharamannya jelas lagi mutawatir seperti zina, riba, dan yang lainnya [Manhaj Al-Imaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab, hal. 199].
Karena perkara al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah itu merupakan perkara yang relatif (nisbi) tergantung pada jaman dan tempat. Mungkin satu perkara termasuk al-ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah di suatu tempat, namun tidak di tempat yang lain; atau masuk di suatu jaman tertentu, namun tidak di jaman yang lain.
Demikian klaim ijma dan Lawazim atau Konsekwensi-konsekwensi terhadap perkara yang mereka klaim sebagai perkara yang maklum yang diketahui yang selalu mereka hembuskan.
B. Mengklaim hal yang bukan Ijma’ sebagai Ijma’
Persoalan selanjutnya adalah para takfiriyun sering mengklaim dalam banyak perkara bahwa para ulama telah berijma’ dalam banyak hal, padahal pada kenyataannya tidaklah seperti itu. Dan yang sering mereka hembuskan dan selalu mereka ulang-ulang sebagai bentuk kesalahan fatal mereka adalah klaim Ijma’ atas kafirnya Anshar Thagut, serta Ijma’ tidak ada Udzur Jahl dalam perkara Syirik Akbar.
Wahai Ikhwah, dalam banyak kesempatan ijma’ itu dapat memiliki kekuatan dalalah (penunjukan) dan qath’iyah (kepastian) nya berdasarkan kondisi masalah yang diijma’kan, seperti karena masalah tersebut adalah termasuk ajaran Islam yang sudah pasti diketahui sehingga setiap orang yang menyelisihi hukum yang diijma’kannya bisa kafir, misalnya tentang shalat, puasa, haji dan lain-lain yang dipastikan bahwa seorang muslim akan maklum/ diketahui terhadap masalah ini
Dan dalam permasalahan seperti ini biasanya orang mudah untuk tidak memperhitungkan lagi terpenuhinya semua syarat untuk ditetapkan sebagai ijma’ qath’i. Hal itu karena syarat-syarat tersebut tergantikan dengan kuatnya masalah yang diijma’kan (Nadharat fil Ijma’ Qoth’i/Syaikh Abu Yahya Al-Libi Rahimahullah dan diterjemahkan dengan judul, “Ramai-ramai Mengkafirkan para Pembela Thagut.” penerbit Manjaniq Media hlm 196).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan setelah dikaji bahwa ijma’ yang telah maklum (diketahui) itu orang yang menyelisihinya akan kafir sebagaimana orang akan kafir jika ia menyelisihi dan meninggalkan nash. Akan tetapi hal ini tidak berlaku selain pada masalah yang telah diketahui ketetapan nash padanya. Adapun terjadinya ijma’ pada suatu masalah yang tidak ada nashnya adalah peristiwa yang tidak mungkin untuk diketahui, dan adapun ijma’ yang tidak diketahui(yakni pada suatu masalah yang tidak ada nashnya) maka tidak bisa dikafirkan (orang yang menyelisihinya).” (Majmu’ Fatawa XIX/270).
Imam Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah mengatakan, “Dan ijma’ itu adalah sesuatu yang diyoleh disandarkan kepada orang yang berpegang kepada pendapat atau mazhab tadi.
Contoh memahami kasus diatas adalah seperti bawah ini: Justru karena berpegang kepada kaedah Lazim al-Mazhab Laisa Bi Mazhab inilah, maka ulama memfatwakan bahwa orang yang mengatakan Sayyidina Abu Bakar r.a tidak ada, tidak menjadi kafir (silahkan lihat Hasyiata al-Qalyubi Wa ‘Umairah di permulaan Kitab al-Riddah).
Mengapa?
Untuk memahami perkara ini, perlu kita menguraikan perkara tersebut dengan.
Pertama, al-Quran menyebut dengan jelas kisah Nabi Muhammad shalallahu Alaihi Wassalam dengan seorang sahabat yang dimaksud ayat “ketika dia berkata kepada sahabatnya, “janganlah engkau bersedih ” (al-Taubah : 40)
Maka para sahabat berijma’ atau sepakat bahwa yang dimaksud dengan “sahabatnya” dalam ayat ini, ialah Sahabat Abu Bakar r.a ( lihat Hasyiah al-Dasuqi ‘Ala al-Syarh al-Kabir, jld.18, hlm.294).
Artinya, kedudukan Sahabat Abu Bakar Radhiyyallahu ‘Anhu sebagai seorang sahabat Nabi s.a.w, adalah perkara qath’ie. Ini karena ia disebut dengan jelas oleh al-Quran.
Justeru, siapa yang menuduh Sahabat Abu Bakar r.a bukan sahabat Nabi s.a.w, maka ia menjadi kafir karena telah membuat dakwaan yang jelas menyelisihi dengan keterangan al-Quran.
Bagaimana dengan orang yang mendakwa sahabat Abu Bakar sebenarnya tidak ada? Tuduhan ini melahirkan satu ‘konsekuensi-konsekuensi pengertian’ atau ‘rentetan pengertian’ atau lazim, yaitu sahabat Abu Bakar r.a bukan seorang sahabat Nabi s.a.w’. ini karena, adalah mustahil seseorang yang tidak ada, bisa menjadi sahabat Nabi s.a.w.
Walau bagaiman pun, lawazim pengertian’ dari ucapan ini (sahabat Abu Bakar r.a bukan sahabat Nabi s.a.w), tidak bisa dirujuk pada ucapan orang yang mengatakan sahabat Abu Bakar tidak ada. Karena dia hanya sekadar mengucapkan, “Sahabat Abu Bakar r.a tidak ada.”
Persoalannya, mengapa orang yang mengatakan demikian tidak menjadi kafir? Bukankah kata-kata itu dengan sendirinya menafikan kedudukan Sahabat Abu Bakar r.a sebagai seorang sahabat Nabi s.a.w, yang dinyatakan al-Quran dalam surah al-Taubah tadi?
Jawabnya, orang tersebut tidak menjadi kafir karena Lazim al-Mazhab Laisa bil Mazhab. Atau lawazim/rentetan pengertian’ dari sesuatu pendapat atau mazhab, tidak serta merta sebagai pendapat atau mazhab’.
Untuk itu ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan, “Dan adapun orang yang mengkafirkan manusia dengan ma’aal ucapan mereka (prasangka atas makna ucapan mereka) maka itu adalah salah, karena itu adalah dusta atas nama lawan dan penyandaran ucapan terhadapnya yang tidak pernah dia lontarkan, dan bila dia istiqamah (iltizam) terhadapnya maka dia tidak mendapatkan kecuali tanaqudl (kontradiksi) saja, sedangkan tanaqudl itu bukan kekafiran, bahkan dia telah baik karena ia telah lari dari kekafiran….” Hingga beliau berkata: “Maka benarlah bahwa tidak boleh seseorang dikafirkan kecuali dengan ucapannya itu sendiri dan penegasan keyakinannya, dan tidak ada manfa’atnya seseorang mengungkapkan tentang keyakinan orang lain dengan ungkapan yang dengannya dia memperindah kejelekannya, akan tetapi yang divonis dengannya adalah makna ungkapannya saja.” Al-Fashl 3/294.
B. Studi Kasus yang Sering Terjadi di Dalam Jihad Global adalah pengkafiran berantai.
Contoh lain dalam masalah dalam dunia nyata sekarang ini yang sering kita dengar adalah kaidah barang siapa yang tidak mengkafirkan orang musyrik atau ragu pada kekafiran mereka, atau membenarkan madzhab/ajaran mereka maka ia kafir”. Misalnya saya tidak mengkafirkan polisi dan TNI yang dituduh kafir secara Ta’yin/individu oleh Aman abdurahman dan orang yang semisalnya maka saya langsung di vonis kafir ( ini contohnya ) oleh mereka atau ada yang mengatakan bahwa saya tauhidnya belum lurus, tidak muwahid, minimal saya dituduh ahlu bid’ah, akan tetapi orang-orang ini mayoritas menuduhnya fasiq yang belum merealisasikan tauhid dengan benar dan lalu mengvonisnya kafir, maka terjadilah pengkafiran secara berantai sebagaimana yang kita saksikan di hampir semua kancah jihad.
Hal semacam inilah yang mengakibatkan kegagalan jihad di Aljazair yakni karena sebab kaidah ini dan sekarang terulang lagi di bumi Syam, Libya, Khurasan dan juga di Indonesia ( saran saya agar mengkaji buku “Tajarubat Jihad Al-Jazair dan sudah diterjemahkan oleh penerbit Jazeera-Solo dengan judul Balada Jihad Al-Jazair) untuk itu ada baiknya kita melihat makalah Syaikh Nasr Al-Fahd Fakallahu Asrah :
Arahan Syaikh Nashir al Fahd dalam Mendudukkan Kaidah Tersebut
Walau Syaikh Nashir berpendapat tidak ada udzhur jahl dalam perkara syirik akbar akan tetapi beliau tidak mengkafirkan orang yang menyelisihi beliau dan adapun makalah Kaidah ini (barang siapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka ia kafir) adalah benar dan sudah mahsyur, dan ia adalah pembatal ketiga dari pembatal-pembatal Islam (Nawaaqidul Islam) yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab rhm. Beliau berkata: “ketiga: barang siapa yang tidak mengkafirkan orang musyrik atau ragu pada kekafiran mereka, atau membenarkan madzhab/ajaran mereka maka ia kafir”.
Namun kaidah ini tidak lepas begitu saja. Karena kaidah ini ada rinciannya. Barangsiapa yang melalaikan perincian ini maka ia jatuh dalam kebatilan, baik kebatilan itu berupa mengkafirkan orang Islam atau tidak mengkafirkan orang kafir asli. Adapun penjelasan rincinya adalah sebagai berikut:
PERTAMA: Ketahuilah bahwa dasar dari kaidah ini bukanlah karena kekufuran baik ucapan maupun perbuatan, namun karena ia menolak dan mendustakan akhbar (berita ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi-pent). Barang siapa membiarkan orang kafir tanpa mengkafirkannya (tanpa vonis) maka orang ini mendustakan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadist yang tegas yang datang kepadanya tentang pengkafiran ini. Oleh karena itu kaidah ini memerlukan beberapa syarat,
Syarat pertama: Hendaklah berita tentang pengkafiran orang musyrik tadi haruslah dalil yang shahih, yang disepakati ulama/ijma’ (bukan dalil yang masih ikhtilaf diantara para ulama-pent).
Syarat kedua: orang yang tidak mengkafirkan orang kafir tadi harus menolak dalil-dalil tadi, (kalau tidak menolak karena unsur syubhat dan sebagainya maka ini nantinya ada penjelasannya-pent). Karena amal-amal yang menyebabkan seseorang kafir itu tidak hanya satu, dan terjatuh dalam perbuatan mukaffiroh (perbuatan yang membuat pelakunya jatuh kafir) itu bukanlah satu tingkatan, tetapi ada banyak tingkatan. (Diantara contoh perkara yang jelas yang tidak ada ikhtilaf adalah orang yang mengaku tuhan atau mengaku nabi–pent).
Oleh karena itu, untuk menjelaskan masalah ini perlu dibedakan antara masing-masing perkara tadi. Dengan demikian, orang musyrik tadi terbagi dua golongan:
1. Orang kafir asli (belum pernah secara sah masuk Islam), seperti Yahudi, Nasrani dan Majusi, dan sejenisnya (Hindu, Budha, animisme, dll –pent), maka barang siapa yang tidak mengkafirkannya, atau ragu-ragu akan kekafirannya, atau membenarkan ajarannya, maka ia adalah kafir sesuai ijma’ sebagaimana disebutkan oleh banyak ulama, dikarenakan sikap dia (menganggap agama selain Islam itu benar-pent) berarti dia menolak dalil-dalil Alqur’an dan hadist yang menegaskan bathilnya aqidah selain Islam dan kafirnya setiap orang yang tidak beragama Islam.
2. Orang yang murtad dari Islam, ini terbagi dua:
Kesatu: orang yang terang-terangan mengumumkan kekafirannya dan berpindah dari Islam kepada selainnya seperti Yahudi, Nasrani atau Atheis, maka kedudukannya adalah seperti kedudukan sebelumnya (kafir asli).
Kedua: orang yang semula muslim kemudian dia melanggar pembatal dari pembatal-pembatal Islam, tapi dia masih menyangka dia masih beragama Islam dan tidak merasa kafir dengan pembatal tersebut. Orang seperti ini masih diklasifikasikan lagi menjadi dua:
Orang yang melanggar pembatal Islam secara terang-terangan, tidak ada kesamaran, (tidak ada syubhatnya) dalam perkara yang disepakati para ulama, contohnya mencaci maki Allah Ta’ala. Maka orang seperti ini dianggap murtad sesuai ijma’ ulama. Adapun orang yang ragu-ragu mengkafirkannya maka ia jatuh dalam dua kemungkinan:
Pertama: ia yakin bahwa dengan sebab mencaci itu menjadi kufur, dan bahwa mengerjakan perbuatan itu adalah kekufuran, namun ia ragu-ragu dan menahan diri dari menerapkan hukum ini kepada orang tertentu karena ilmu dia yang terbatas atau ia melihat ada syubhat pada diri orang yang mencaci maki Allah Ta’ala tersebut, atau alasan lainnya. Maka dalam posisi ini orang yang ragu-ragu itu adalah dalam keadaan keliru, sementara pendapat dia (tidak mengkafirkan) tadi adalah pendapat yang salah, namun ia tidak menjadi kafir, karena ia sebenarnya tidak menolak dalil tadi dan tidak mendustakan dalil, karena sebenarnya ia telah mengakui dan meyakini bahwasannya benar jika mencaci maki Allah Ta’ala adalah sebuah kekufuran. (ia faham perbuatan tsb kufur namun ragu-ragu menerapkannya kepada pelakunya karena ada syubhat atau perkara lainnya –pent).
Kedua: orang yang sejak awal mengingkari bahwa mencaci maki Allah Ta’ala adalah sebuah kekufuran. Maka status orang seperti ini adalah kafir jika sudah diberi penjelasan (bayan) tetapi tetap bersikap keras kepala. Karena berarti dia menolak dalil Alqur’an, hadist dan ijma’, contohnya adalah orang yang menyembah kuburan dari kalangan orang-orang yang menyatakan dirinya muslim. Barang siapa yang tidak setuju bahwa menyembah kuburan itu adalah kekufuran maka orang ini kafir (setelah penjelasan/bayan – pent) karena ia menolak nash dan ijma’.
Adapun barangsiapa yang meyakini menyembah kuburan itu kekufuran tapi ia menahan diri dari mengkafirkan pelakunya karena melihat adanya syubhat (misalnya dia melihat pelakunya bodoh, salah takwil, dll), maka orang yang menahan diri ini (tawaquf) tidak dikafirkan.
Orang yang melanggar pembatal keislaman namun nilai pembatalnya masih diperdebatkan (ikhtilaf). Contohnya meninggalkan shalat padahal ia berstatus muslim. Maka mengkafirkan pelaku yang tidak shalat ini adalah perkara khilafiyah (diperselisihkan). Orang yang berbeda pendapat dalam masalah ini tidak dikafirkan, bahkan tidak dibid’ahkan dan tidak difasiqkan sekalipun ia keliru. Selesai
Demikianlah arahan dan penjelasan syaikh Nashr bin Hamdal-Fahd tentang kaidah, “Barang siapa yang Tidak Mengkafirkan Orang Musyrik atau Ragu pada Kekafiran Mereka, atau Membenarkan Madzhab/ajaran Mereka Maka ia Kafir”, penjelasan ini ditulis pada tanggal 10/5/1423 H dan kemudian disebarkan secara luas, baik secara langsung atau melalui media internet.
C. Mendudukan Lazimul Qaul dan Lazimul Madzhab
Pada kesempatan ini kami telah membahas pada tulisan kami sebelumnya akan tetapi kami akan membandingkan apa yang dikatakan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
وهو أنه لا يلزم من قيام شعبة من شعب الإيمان بالعبد أن يسمى مؤمنا وإن كان ما قام به إيمانا ولا من قيام شعبة من شعب الكفر به أن يسمى كافرا وإن كان ما قام به كفرا, كما أنه لا يلزم من قيام جزء من أجزاء العلم به أن يسمى عالما ولا من معرفة بعض مسائل الفقه والطب أن يسمى فقهيا ولا طبيبا, ولا يمنع ذلك أن تسمى شعبة الايمان إيمانا وشعبة النفاق نفاقا وشعبة الكفر كفرا. وقد يطلق عليه الفعل كقوله: “فمن تركها فقد كفر”. “ومن حلف بغير الله فقد كفر”, وقوله: “من أتى كاهنا فصدقه بما يقول فقد كفر ومن حلف بغير الله فقد كفر”. رواه الحاكم في صحيحه بهذااللفظ. فمن صدر منه خلة من خلال الكفر فلا يستحق اسم كافر على الإطلاق, وكذا يقال لمن ارتكب محرما إنه فعل فسوقا وإنه فسق بذلك المحرم ولا يلزمه اسم فاسق إلا بغلبة ذلك عليه. وهكذا الزاني والسارق والشارب والمنتهب لا يسمى مؤمنا وإن كان معه إيمان كما أنه لا يسمى كافرا وإن كان ما أتى به من خصال الكفر وشعبه إذ المعاصي كلها من شعب الكفر كما أن الطاعات كلها من شعب الإيمان
“Tidak selalu mengkonsekuensikan bagi seseorang yang mengerjakan salah satu cabang dari cabang-cabang keimanan disebut sebagai mukmin, meskipun yang ia kerjakan adalah satu perbuatan keimanan. Begitu pula tidaklah selalu mengkonsekuensikan bagi seseorang yang mengerjakan salah satu cabang dari cabang-cabang kekafiran disebut sebagai kafir, meskipun yang ia kerjakan adalah satu perbuatan kekafiran. Sebagaimana halnya tidak mengkonsekuensikan bagi seseorang yang mengerjakan sebagian dari bagian-bagian ilmu disebut sebagai seorang ‘alim (ulama), serta orang yang mengetahui sebagian permasalahan fiqh dan pengobatan disebut sebagai faqiih dan dokter (thabiib). Akan tetapi, itu semua tidaklah menghalangi kita untuk menyebut cabang keimanan sebagai iman, cabang kemunafikan sebagai kemunafikan, dan cabang kekafiran sebagai kekafiran. Dimutlakkan (penyebutan/penamaan) atas perbuatannya, seperti sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang meninggalkannya (yaitu shalat), maka ia kafir’; ‘Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia kafir’. Dan juga sabda beliau : ‘Barangsiapa yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia kafir’. Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Shahih-nya dengan lafadh ini.
Barangsiapa pada dirinya ada satu perangai dari perangai-perangai kekafiran, maka tidak dibenarkan untuk memutlakkan nama kafir padanya. Begitu pula dikatakan bagi orang yang mengerjakan satu keharaman, maka telah mengerjakan satu kefasikan dan ia fasik dengan keharaman (yang ia kerjakan), namun tidak boleh menamakannya faasiq/fasik (secara mutlak) kecuali dengan kefasikan tersebut tampak mendominasi pada dirinya.
Begitu pula dengan orang yang berzina, pencuri, peminum khamr, dan perampok tidak boleh disebut mukmin (secara mutlak) meskipun ada keimanan padanya, sebagaimana pula ia tidak dinamakan kafir (secara mutlak) meskipun yang ia kerjakan termasuk tabiat dan cabang kekafiran. Karena setiap kemaksiatan termasuk cabang kekafiran, sebagaimana setiap ketaatan termasuk cabang keimanan” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 62]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فالصواب‏:‏ أن مذهب الإنسان ليس بمذهب له إذا لم يلتزمه، فإنه إذا كان قد أنكره ونفاه كانت إضافته إليه كذبا عليه بل ذلك يدل على فساد قوله وتناقضه في المقال
“Yang benar, madzhab manusia secara umum bukan menjadi madzhab baginya jika ia tidak memeganginya. Karena jika ia mengingkarinya dan menafikkannya, maka menyandarkan kekafiran kepadanya merupakan kedustaan kepadanya. Bahkan ini menunjukkan kerusakan perkataan dan pertentangan dalam perkataannya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 20/217].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
والذي يظهر أن نحكم بالكفر على من كان الكفر صريح قوله وكذا من كان لازم قوله وعرض عليه فالتزمه أمامن لم يلتزمه وناضل عنه فإنه لا يكون كافرا ولو كان اللازم كفرا.
“Dan yang jelas bahwa kami menghukumi kafir pada orang yang telah jelas kekufuran pada perkataannya. Begitu pula pada orang yang kelaziman perkataannya itu kufur kemudian dipaparkan kepadanya lalu ia memegangnya. Adapun bagi orang yang tidak memegangnya dan ia membantahnya, maka ia tidak termasuk kafir walaupun kelaziman perkataannya itu kufur” [Taudliihul-Afkaar oleh Ash-Shan’aaniy, 2/147, tahqiq : Abu ‘Abdirrahman Shalaah bin Muhammad bin ‘Uwaidlah; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1417].
Maksud pembahasan point ini terutama dalam masalah-masalah yang diperselisihkan tentang kekafirannya – sehingga terbagi dalam beberapa madzhab/pendapat.
Tidaklah dikafirkan kecuali yang telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah akan kekafirannya atau telah tegak dalil yang tidak ada penentang dalam pengkafirannya itu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، ‏
“Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan” [Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah, 12/466].
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah berkata :
ولا نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء كلهم…..
“Kami tidak mengkafirkan (seorang muslim) kecuali apa yang telah disepakati oleh semua ulama….” [Durarus-Saniyyah, 1/70].
D. Hendaknya Kita Tidak Terburu-buru Menjatuhkan Vonis dan Kita ahlu Sunnah itu Merincinya.
Ijmal ( simplifikasi ) adalah sebab banyak masalah, maka berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulloh : “ dan adapun lafadz-lafadz mujmal ( global / umum ) ; maka berbicara di dalamnya dalam menafikan atau menetapkan tanpa merinci ; menjatuhkan ke dalam kebodohan dan kesesatan, kekacauan dan kebinasaan serta qiila wa qoola ( desas desus ) .( Minhajus Sunnah 2/217 )
Berkata Ibnul Qayyim rahimahulloh : “ mereka yang menentang Kitab dan sunnah dengan akal-akal mereka – yang sebenarnya adalah kebodohan – selalu membangun kerangka berfikir mereka di atas pendapat yang rancu dan mengandung banyak kemungkinan, yang mengandung kerancuan dalam makna, dan ijmal dalam lafadz ; yang dapat dibawa ke arah haq maupun batil, disebabkan karena kebenaran yang terkandung maka mereka akhirnya menerima kebatilan yang ada padanya karena kekurangan ilmu, karena kesamarannya, lalu mereka mempertentangkan kebatilan itu dengan nash-nash dari para nabi, inilah pangkal kesesatan dari umat yang tersesat sebelum kita, sekaligus asal bid’ah seluruhnya….maka awal kesesatan anak  adam adalah dari lafadz mujmal dan makna yang rancu terlebih saat bertemu dengan akal yang berpenyakit “ ( Ashowa’iq Al Mursalah 3/925 ).
Berkata Abdul Lathif ibn Abdurrahman ibn Hasan rahimahumulloh : “ maka sesungguhnya Ijmal dan ithlaq ( memutlakkan ) serta ketidakmengertian tentang mawanie’ khithob serta perinciannya akan menghasilkan kerancuan dan kesalahan dan tidak memahami ( maksud ) Alloh , inilah yang merusak agama dan mengacaukan pemikiran dan menghalangi dari memahami As Sunnah dan Al Quran (Uyun Ar Rasa’il 1/166 ).
Atas dasar ini : maka wajib merinci ( tafshil) dalam setiap masalah yang dirinci oleh dalil-dalil syar’iyah, dan tidak boleh memutlakkan hukum dengan dasar perbuatan tanpa memperhatikan tafshiel yang ditunjukkan oleh dalil .
E. Kesimpulan
Pengkafiran adalah hukum syar’i dan merupakan hak murni milik Allah ta’ala, tidak dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu.
Konsekuensi dari kaidah ini adalah seseorang tidaklah dikafirkan kecuali yang memang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وهذا بخلاف ما كان يقوله بعض الناس كأبي إسحاق الإسفراييني ومن اتبعه يقولون لا نكفر إلا من يكفر فإن الكفر ليس حقا لهم بل هو حق لله وليس للإنسان أن يكذب على من يكذب عليه ولا يفعل الفاحشة بأهل من فعل الفاحشة بأهله بل ولو استكرهه رجل على اللواطة لم يكن له أن يستكرهه على ذلك ولو قتله بتجريع خمر أو تلوط به لم يجز قتله بمثل ذلك لأن هذا حرام لحق الله تعالى ولو سب النصارى نبينا لم يكن لنا أن نسبح المسيح والرافضة إذا كفروا أبا بكر وعمر فليس لنا أن نكفر عليا
“Hal ini bertentangan dengan pekataan sebagian orang seperti Abu Ishaq Al-Isfirayiiniy serta orang yang mengikuti pendapatnya, mereka mengatakan : Kami tidak mengkafirkan kecuali orang-orang mengkafirkan (kami). (Perkataan ini salah), karena takfir itu bukanlah hak mereka tapi hak Allah. Seseorang tidak boleh berdusta kepada orang yang pernah berdusta atas namanya. Tidak boleh pula ia berbuat keji (zina) dengan istri seseorang yang pernah menzinahi istrinya. Bahkan kalau ada orang yang memaksanya untuk melakukan liwath (homo sex), tidak boleh baginya untuk membalas dengan memaksanya untuk melakukan perbuatan yang sama, karena hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak Allah. Seandainya orang Nashrani mencela Nabi kita, kita tidak boleh mencela Al-Masih (‘Isa ‘alaihis-salaam). Demikian pula seandainya orang-orang Rafidlah mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar, tidak boleh bagi kita untuk mengkafirkan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum ajma’iin” [Minhajus-Sunnah, 5/244 – Muassasah Qurthubah, Cet. 1 Th. 1406].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata dalam Qashidah Nuniyyah-nya :
الكفر حق الله ثم رسوله*** بالنص يثبت لا بقول فلان
من كان رب العالمين وعبده*** قد كفراه فذاك ذو الكفران
“Kekafiran itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya — dengan nash yang tetap bukan dengan perkataan si Fulan
Barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya —- telah mengkafirkannya maka dia orang kafir”
[Qashidah Nuniyyah, hal. 277; Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 2/1417, Kairo].
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata :
الحكم بالتكفير والتفسيق ليس إلينا بل هو إلى الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم، فهو من الأحكام الشرعية التي مردها إلى الكتاب والسنة، فيجب التثبت فيه غاية التثبت، فلا يكفر ولا يفسق إلا من دل الكتاب والسنة على كفره أو فسقه.
“Menghukumi kafir atau fasiq bukanlah hak kita, namun ia merupakan hak Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia merupakan hukum-hukum syari’ah yang harus dikembalikan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, wajib untuk menelitinya dengan seksama. Tidak boleh mengkafirkan atau memfasikkan kecuali orang-orang yang memang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang kekafirannya atau kefasikannya” [Al-Qawaaidul-Mutslaa, hal. 87; Universitas Islam Madinah, Cet. 3/1421].
Kedua : Asal dari seorang muslim secara dhahir adalah ‘adil dan tetap di atas ke-Islaman serta keadilannya sampai benar-benar diketahui lenyapnya dua hal tersebut darinya berdasarkan dalil syar’i.
Tidak boleh menggampangkan dalam mengkafirkan atau memfasikkannya karena dalam hal ini terdapat dua larang besar :
a.  Membuat-buat kedustaan terhadap Allah ta’ala dalam menghukumi dan terhadap orang yang dihukumi.
b.  Terjatuh dalam hal menuduh saudaranya, jika dia selamat dari tuduhan itu.
Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Nabi saw
“Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka hal itu akan kembali pada salah satu dari keduanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6104 dan Muslim no. 60].
Oleh sebab itu, merupakan kewajiban sebelum menghukumi seorang muslim dengan kekafiran atau kefasikan untuk memperhatikan dua perkara ini :
a) Bahwasannya Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan bahwa suatu perkara atau perbuatan itu mengharuskan kekafiran dan kefasikan (pelakunya).
b)  Kesesuaian hukum tersebut, untuk diterapkan terhadap pembicara dan pelaku tertentu, dimana telah terpenuhi syarat-syarat[1] pengkafiran dan pemfasikan pada dirinya serta tidak ada penghalang/pencegah[2] yang menghalangi penjatuhan hukum tersebut.
Wahai Aman, Tidak ada pengkafiran dengan kelaziman madzhab atau perkataan-perkataan, dan tidak dijadikan ukuran sesuatu yang merupakan takwil dari pemikiran-pemikiran, dan berkali-kali mereka mengatakan kami tidak mengkafirkan karena lawazim, akan tetapi sudah menjadi sikap umum bahwa kalian sering mengkafirkan kami berdasarkan lawazim seperti contoh-contoh di atas seperti ketika kami mengurus PB bagi asir/tawanan, mereka mengkafirkan ketika melihat kaum muslimin duduk satu majlis bersama musuh padahal kami didatangi atau kami dipaksa, akan tetapi mereka terburu-buru mengvonis kami berdasarkan zhan-zhandan lawazim.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فالصواب‏:‏ أن مذهب الإنسان ليس بمذهب له إذا لم يلتزمه، فإنه إذا كان قد أنكره ونفاه كانت إضافته إليه كذبا عليه بل ذلك يدل على فساد قوله وتناقضه في المقال
“Yang benar, madzhab manusia secara umum bukan menjadi madzhab baginya jika ia tidak memeganginya. Karena jika ia mengingkarinya dan menafikkannya, maka menyandarkan kekafiran kepadanya merupakan kedustaan kepadanya. Bahkan ini menunjukkan kerusakan perkataan dan pertentangan dalam perkataannya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 20/217].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
والذي يظهر أن نحكم بالكفر على من كان الكفر صريح قوله وكذا من كان لازم قوله وعرض عليه فالتزمه أمامن لم يلتزمه وناضل عنه فإنه لا يكون كافرا ولو كان اللازم كفرا.
“Dan yang jelas bahwa kami menghukumi kafir pada orang yang telah jelas kekufuran pada perkataannya. Begitu pula pada orang yang kelaziman perkataannya itu kufur kemudian dipaparkan kepadanya lalu ia memegangnya. Adapun bagi orang yang tidak memegangnya dan ia membantahnya, maka ia tidak termasuk kafir walaupun kelaziman perkataannya itu kufur” [Taudliihul-Afkaar oleh Ash-Shan’aaniy, 2/147, tahqiq : Abu ‘Abdirrahman Shalaah bin Muhammad bin ‘Uwaidlah; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1417].
Maksud pembahasan point ini terutama dalam masalah-masalah yang diperselisihkan tentang kekafirannya – sehingga terbagi dalam beberapa madzhab/pendapat.
Tidaklah dikafirkan kecuali yang telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah akan kekafirannya atau telah tegak dalil yang tidak ada penentang dalam pengkafirannya itu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، ‏
“Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan” [Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah, 12/466].
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah berkata :
ولا نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء كلهم…..
“Kami tidak mengkafirkan (seorang muslim) kecuali apa yang telah disepakati oleh semua ulama….” [Durarus-Saniyyah, 1/70].
‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahman bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahumullah berkata :
وأخبرتهم ببراءة الشيخ، من هذا المعتقد والمذهب وانه لا يكفر إلا بما أجمع المسلمون على تكفير فاعله، من الشرك الأكبر والكفر بآيات الله ورسله أو بشيء منها بعد قيام الحجة وبلوغها المعتبر ……
“Dan aku kabarkan kepada mereka tentang berlepas-dirinya Syaikh (yaitu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah) dari ‘aqidah dan madzhab ini. Beliau tidak mengkafirkan kecuali berdasarkan ijma’ kaum muslimin atas kekafiran pelakunya yang melakukan syirik akbar serta mengingkariayat-ayat Allah dan Rasul-Nya, atau dengan sesuatu yang merupakan bagian darinya setelah ditegakkannya hujjah dan disampaikan sebagaimana mestinya….” [Ad-Durarus-Saniyyah fii Ajwibatin-Najdiyyah, dikumpulkan oleh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Al-Qaasim, 1/467; Cet. 6/1417].
Oleh karena itu, kita tidak boleh sembrono dan terburu-buru memvonis kafir terhadap orang lain (secara mu’ayyan/individu).
Asy-Syaikh ‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahman bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahumullah berkata :
وقد بلغنا : عنكم نحو من هذا وخضتم في مسائل من هذا الباب كالكلام في الموالاة، والمعادة والمصالحة والمكاتبات وبذل الأموال والهدايا ونحو ذلك من مقالة أهل الشرك بالله، والضلالات والحكم بغير ما انزل الله عند البوادى، ونحوهم من الجفاة، لا يتكلم فيها إلا العلماء من ذوي الألباب ومن رزق الفهم عن الله وأوتي الحكمة وفصل الخطاب .
والكلام في هذا : يتوقف على معرفة ما قدمناه، ومعرفة أصول عامة، كلية، لا يجوز الكلام في هذا الباب وفى غيره لمن جهلها و أعرض عنها وعن تفاصيلها فإن الإجمال ،والإطلاق ،وعدم العلم،بمعرفة مواقع الخطاب، وتفاصيله، يحصل به من اللبس، والخطأ، وعدم الفقه عن الله، ما يفسد الأديان، ويشتت الأذهان، ويحول بينها، وبين فهم السنة والقرآن ؛ قال : ابن القيم، في كافيته، رحمه الله تعالى :
فعــليك بالتفصيــل والتبيين فالــ       إطلاق والإجمال دون بيان قد أفسدا هذا الوجود وخبطا الــ       أذهان والآراء كل زمان
“Dan telah sampai pada kami pendapat-pendapat Anda tentang permasalahan-permasalahan dalam hal ini; seperti pembicaraan tentang masalah loyalitas, permusuhan, perdamaian, perjanjian, menyumbangkan harta benda dan hadiah, dan yang semisal dengan itu dari perkataan-perkataan orang-orang musyrik dan sesat, serta berhukum dengan selain hukum Allah pada penduduk pelosok dan semisalnya dari kalangan orang-orang berperangai kasar. Tidak boleh seorang pun membicarakan ini kecuali para ulama yang mempunyai ilmu serta diberikan pemahaman (lurus), hikmah, dan kemampuan merinci masalah oleh Allah ta’ala.
Pembicaraan dalam hal ini bergantung pada pengetahuan yang telah kami sebutkan tadi, dan pengetahuan tentang dasar-dasar hukum yang bersifat umum dan global. Tidak layak berbicara dalam bab ini atau bab lainnya bagi mereka yang jahil dan enggan mempelajarinya dan mempelajari hukumnya. Sebab, pembicaraan yang bersifat umum, mutlak, serta ketiadaan ilmu tentang pemahaman sasaran-sasaran objek hukum dan perinciannya akan menghasilkan kerancuan, kekeliruan, dan hilangnya pemahaman terhadap (hukum) Allah sehingga merusak agama, mengacaukan pikiran, dan terhalangnya memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ibnul-Qayyim berkata :
Wajib bagimu menghukumi dengan perincian dan penjelasan
karena menghukumi secara umum tanpa penjelasan
Dapat merusak kehidupan ini
dan juga merusak pikiran dan pendapat di setiap masa”
[Ad-Durarus-Saniyyah fii Ajwibatin-Najdiyyah, 1/468/469].
F. Vonis Kafir bukan selalu berarti vonis ta’yin
Sebagaimana pembahasan sebelumnya bahwa adapun vonis kafir dan murtad itu itu adalah kata sifat yang bersifat muthlaq, yang jika ditujukan kepada personal individu maka harus dilihat mawani’ dan Syuruth, inilah dhawabith Ahlu Sunnah yang ijma’ diatasnya. Sebagaimana yang disalah pahami oleh sebagaian orang selama ini, para Ulama Dakwah Tauhid banyak mengatakan bahwa vonis-vonis kafir disini adalah bentuk kata sifat
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فإن التكفير المطلق مثل الوعيد المطلق لا يستلزم تكفير الشخص المعين حتى تقوم عليه الحجة التي تكفر تاركها
“Sesungguhnya pengkafiran yang bersifat mutlak (at-takfiirul-muthlaq) seperti halnya ancaman yang bersifat mutlak (al-wa’iid al-muthlaq) yang tidak mengkonsekuensikan pengkafiran terhadap individunya, kecuali jika telah ditegakkan padanya hujjah, dimana ia dikafirkan jika meninggalkannya” [Al-Istiqaamah, hal. 164].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata:
ومسألة تكفير المعين مسألة معروف إذا قال قالا يكون القول به كفراً، فيقال : من قال بهذا القول فهو كافر، ولكن الشخص المعين إذا قال ذلك، لا يحكم بكفره حتى تقوم عليه الحجة التي يكفر تاركها
“Masalah pengkafiran individu (takfir mu’ayyan) adalah masalah yang ma’ruf. Apabila ada seseorang mengucapkan perkataan kufur, maka dikatakan : ‘Barangsiapa yang mengucapkan perkataan tersebut, maka ia kafir’. Akan tetapi individu yang mengucapkannya tidak langsung dihukumi kafir, hingga tegak padanya hujjah, dimana ia dikafirkan jika meninggalkannya” [Ad-Durarus-Saniyyah, 7/244].
Didalam kitab Al-Qaulul Mufid Ala Kitabul Tauhid Juz 1 hal. 36-47 Syaikh Utsaimin Rahimahullah beliau mengatakan: ‘’Tidak diperbolehkan memutlakan kesyirikan,kekufuran, dan laknat terhadap orang diperbolehkan yang melakukan sesuatu dari perbuatan tersebut, karena hukum tentang masalah ini dan juga lainnya mempunyai sebab-sebab dan penghalang-penghalang tersendiri.Maka, kita tidak boleh mengatakan pada orang yang memakan riba : ‘ia orang yang terlaknat (mal’uun)’, karena boleh jadi didapatkan penghalang yang menghalangi bersatunya laknat pada dirinya, seperti misal Jahl/kebodohan, syubhat, dan yang semisalnya. Begitu juga dengan kesyirikan. Kita tidak memutlakkan kesyirikan pada orang yang melakukan kesyirikan, karena boleh jadi hujjah belum ditegakkan kepadanya dengan sebab peremehan/pengabaian para ulama mereka. Begitu juga kita boleh mengatakan : ‘Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu’; namun demikian kita tidak menetapkan hukum ini pada individu tertentu (bahwasannya Allah telah mengampuni dosa-dosanya ketika ia berpuasa di bulan Ramadlaan). Maka,hukum yang dikaitkan dengan sifat,tidak dapat ditetapkan terhadap individu-individu tertentu kecuali dengan terpenuhinya syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya. Apabila kita melihat seseorang yang buang air besar di jalan, apakah kita akan mengatakan padanya : ‘Allah melaknat dirimu’ ?
Jawabannya : ‘Tidak’, kecuali jika laknat yang diinginkan adalah yang ada dalam sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Berhati-hatilah kalian terhadap tiga hal yang dapat mendatangkan laknat’ didalam hadist lengkapnya Haditsnya adalah:
عن مُعاذ بن جبل قال : قال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: اتّقُوا الملاعن الثّلاثة: البراز في الموارد، وقارعة الطّريق، والظّلّ.
Dari Mu’aadz bin Jabal, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Berhati-hatilah kalian terhadap tiga hal yang dapat mendatangkan laknat : buang hajat di mawaarid (jalan/saluran air), di tengah jalan, dan di tempat berteduh manusia” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 26, Ibnu Maajah no. 328, Al-Haakim 1/167, dan Al-Baihaqiy 1/97; dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/19 ), yaitu bahwa manusia akan melaknat orang seperti ini dan mereka tidak menyukainya. Mereka memandangnya sebagai tindakan kurang adab yang menyakiti kaum muslimin, dan ini merupakan hal yang lain (dari yang dibahas).
G. Penutup
Wahai Aman bertaubatlah dari kekeliruan, ruju dari kesesatan dan kembali kepada kebenaran, Ruju’ Ilal Haq bukan hal yang buruk dan aib, itu bagian tradisi dari Ilmu, jika Antum tidak berhenti dari vonis-voni keji, ketahuilah ucapan antum akan dimintai pertanggung jawabkan dihadapan Allah Ta’ala, atau jangan-jangan Antum juga sudah menjadi Arbab atau Thagut baru yang di ta’ati,dipatuhi,menghalal kan darah yang haram dan mengharamkan yang halal sebagaimana sikap-sikap mu selama ini, takutlah wahai aman kepada Allah….
Bahkan, thaaghuut itu mencakup orang yang memakan uang suap dan beramal tanpa ilmu, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah :
والطواغيت كثيرة , والمتبين لنا منهم خمسة : أولهم الشيطان وحاكم الجور وآكل الرشوة ومن عُبدَ فرضيَ والعامل بغير علم
“Thaaghuut itu banyak jenisnya, dan yang telah kami jelaskan di antaranya ada lima, yaitu : syaithaan, hakim yang curang, pemakan risywah (uang sogok), orang yang diibadahi (selain Allah) dan ia ridlaa, serta orang yang beramal tanpa ilmu” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/137].
Demikian tulisan ini dibuat dan disusun semata-mata dalam rangka nasehat kepada saudara-saudara kami yang tersesat jauh dari jalan yang lurus yang memporakporandakan amal jihad dengan pemahaman takfiri yang telah mengusai mereka, sementara mereka tida sadar akan kesesatan mereka dan penyimpangan mereka,
Shalallahu ala sayyidina muhammadin wa ala alihi wa sahbihi ajmain
Waallahul musta’an, waallahu a’lam wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Al-Faqir ila Allah Abu Jihad al-Indunisiy
19 September 2015
Jam : 22.00. WIB
MENGUNGKAP FITNAH!!! MENGUNGKAP FITNAH!!! Reviewed by Bang Ocid on 02.16 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Ads Inside Post

Diberdayakan oleh Blogger.